AKU MASIH MENUNGGUMU
di bibir pantai ini, Senggigi. Pantai yang menjadi saksi kita. Pantai ini
adalah satu-satunya tempat yang mampu membaca tatapan mata kita dan resah di
tidur panjang kita. Angin senja dan semburat mentari di ufuk barat sana seakan
ikut duduk bersamaku, menantimu. Bukankah kau pernah berujar bahwa kau
mencintai angin senja ini dan semburat kuning mentari di ujung lautan seberang?
Lihatlah,
batu-batu cadas hitam yang ditampar gelombang masih angkuh dan menunggu. Di
tebing batu-batu itulah kau pernah memintaku untuk memotretmu. Hasil potretan
itu yang melukis wajah dan senyummu masih tersimpan rapi dalam folder laptopku.
Pada deretan batu-batu cadas itu pulalah kau percikkan air pada wajahku.
Semilir angin menerbangkan ujung kerudungmu yang dengan gesit akan kau raih dan
kau rapikan kembali. Di bibir pantai ini aku masih menunggu, adakah kau ‘kan datang?
Semburat
mentari di ujung lautan seberang berubah jingga, pertanda ia mulai lelah
menunggu. Seekor kepiting kecil lewat dan menyapaku “apa yang kau tunggu anak
muda? Jika kau menanti seorang gadis yang kau potret di atas tebing cadas itu,
maka dia tidak akan datang senja ini. Gadis itu telah menggadaikan ceritamu
kepada tukang loak seharga dua ribu rupiah”. Hussshhh, sok tahu. Aku membentak
makhluk kecil itu. Ia berlari ketakutan dan segera masuk ke liang-liang pasir
pantai ini.
Benarkah
kau telah menggadaikan senja ini kepada tukang loak seharga dua ribu rupiah?
Bukankah dua ribu rupiah tidak bermakna apa-apa bagi tukang loak itu dan
orang-orang di sekitarnya, namun bermakna besar bagi kita? Bukankah dua ribu
rupiah yang telah mengikat hati kita menjadi satu? Dua ribu rupiah jugalah yang
membawaku menyetubuhi angin senja yang menusuk ini?